Industri manufaktur menghadapi tantangan serius terkait pemeriksaan Pajak Pertambahan Nilai (PPN) ketika Direktur Jenderal Pajak (DJP) menggunakan metode tidak langsung, khususnya uji arus barang, untuk menguji kewajaran Dasar Pengenaan Pajak (DPP). Sengketa antara PT SK dan DJP yang berakhir dengan Putusan Pengadilan Pajak Nomor PUT-015763.16/2020/PP/M.IVB Tahun 2025 menjadi preseden penting mengenai validitas metodologi koreksi. Dalam kasus ini, DJP melakukan koreksi DPP PPN sebesar Rp256.920.659.280,00, yang didasarkan pada selisih perhitungan stok persediaan fiber rayon. Koreksi masif ini otomatis berujung pada Surat Ketetapan Pajak Kurang Bayar (SKPKB) PPN beserta sanksi administrasi bunga.
Inti konflik dalam sengketa ini berpusat pada akurasi formula perhitungan arus barang yang diterapkan oleh DJP. DJP berargumen bahwa selisih defisit stok yang ditemukan adalah indikasi faktual adanya penyerahan Barang Kena Pajak (BKP) yang PPN-nya belum dipungut dan dilaporkan oleh Wajib Pajak. Kewenangan ini didasarkan pada hak DJP untuk menguji kepatuhan pelaporan omzet, yang dianggap sah sebagai bagian dari pemeriksaan pajak. Sebaliknya, PT SK dengan tegas membantah dasar koreksi tersebut. Mereka berdalih bahwa perhitungan arus barang versi DJP mengalami kelemahan metodologi yang fatal, termasuk pengabaian akuntansi biaya produksi yang wajar, faktor waste atau penyusutan normal, dan perhitungan bahan baku yang melibatkan proses maklon. Menurut Wajib Pajak, selisih tersebut adalah error matematis semu, bukan transaksi penjualan yang tidak dilaporkan.
Pada tingkat Pengadilan Pajak, Majelis Hakim mengambil sikap berdasarkan prinsip kebenaran material. Majelis berpendapat bahwa beban pembuktian untuk mempertahankan koreksi berada di tangan DJP. Meskipun metode uji arus barang dapat digunakan, hasilnya harus didukung oleh bukti dan asumsi yang kokoh. Dalam persidangan, Wajib Pajak berhasil menyajikan perhitungan HPP dan arus barang yang didukung auditor independen, secara terperinci membuktikan adanya kesalahan dalam rumus koreksi DJP, serta menunjukkan bahwa seluruh penyerahan telah didukung oleh faktur pajak. Kegagalan DJP dalam menyanggah kelemahan metodologi koreksi mereka membuat argumen mereka menjadi lemah di hadapan Majelis.
Implikasi Putusan ini sangat signifikan. Pengadilan Pajak melalui amar putusan yang mengabulkan seluruhnya permohonan banding PT SK, secara tegas membatalkan koreksi DPP PPN tersebut. Putusan ini menjadi pengingat kritis bagi DJP mengenai pentingnya akurasi metodologi dalam penggunaan teknik pemeriksaan tidak langsung. Bagi Wajib Pajak, terutama sektor manufaktur, kasus ini memberikan pelajaran bahwa kunci litigasi yang berhasil adalah kemampuan untuk melakukan analisis cost accounting yang mendalam dan justification yang kuat untuk menetralkan asumsi Pemeriksa Pajak, serta memastikan bahwa dokumentasi internal (termasuk waste dan proses maklon) harus rinci dan selaras dengan pelaporan PPN. Kesiapan pembuktian yang kuat menjadi tameng utama melawan potensi koreksi omzet yang didasarkan pada perhitungan rekonsiliasi.
Analisa komprehensif dan putusan lengkap atas sengketa ini tersedia di sini